Jacob Ereste :
Kedaulatan Pangan dan Kemandirian Energi Harus Nyata Dapat Dinikmati Oleh Seluruh Rakyat
Mediacakrabuana.id
Jika benar kebijakan penghapusan piutang yang macet diperuntukkan bagi UMKM yang terkait dengan bidang pertanian, perkebunan dan peternakan, lalu bidang perikanan dan kelautan dan UMKM lainnya, yaitu mode atau busana, kuliner, industri kreatif. Ini semua relevan dengan apa yang selayaknya dilakukan oleh PT. Pertamina yang ingin mewujudkan kemandirian energi nasional, meski belum bisa dinikmati oleh masyarakat.
Subsidi bahan bakar minyak (BBM) khusus untuk kendaraan bermotor umum maupun pribadi — sudah menimbulkan masalah baru — setidak sejak awal tahun 2024, untuk mendapatkan BBM yang disubsidi itu mayarakat menjadi dipersulit untuk membelinya. Seperti di Jawa Tengah khususnya, pembelian minyak solar untuk kendaraan pribadi dan umum harus dibatasi nominalnya. Meski jelas kendaraan itu berasal dari luar kota yang memerlukan bahan bakar minyak berjumlah banyak.
Pada sektor pertanian pun begitu. Para petani selaku merasa mengalami kesulitan untuk memperoleh pupuk, kendati pemerintah selalu menjanjikan dapat diperoleh dengan mudah. Sedangkan di lingkungan rumah tangga, ibu-ibu tidak cuma mengeluhkan harga bahan pangan yang terus naik, tapi merasa ditekan oleh harga gas dan rekening listrik serta air yang ikut-ikutan menambah kepanikan lantaran pelayanannya makin tidak menyenangkan, karena sering mati dan terada sangat mengganggu karena menjadi menghambat kelancaran kerja serta program kerja jadi terlambat atau bahkan sama sekali tertunda atau dibatalkan.
Haralan ibu-ibu serta pengusaha kuliner pada umumnya adakah gas untuk memasak sungguh diharap bisa diturunkan harganya atau disubsidi seperti bahan bakar minyak yang dapat dilakukan juga oleh Pertamina. Karena bila menilik keuntungan yang sangat fantastik yang mampu diraup oleh Pertamina, agaknya untuk menurunkan tarif gas — yang kini semakin gencar dibuat saluran langsung ke rumah-rakyat, perlu mendapat perhatian serius dari pihak Pertamina sebagai pengelola utamanya. Sebab dengan begitu himpitan berat dari biaya hidup yang semakin berat, hendaknya dapat dikurangi dengan berbagai cara dan dukungan nyata dari pihak pemerintah melalui badan usaha miliki Negara (BUMN) termasuk pinjaman lunak untuk modal usaha rakyat yang semakin banyak kehilangan pekerjaan.
Pemutihan utang yang macet dari usaha mikro kecil menengah (UMKM) patut diapresiasi sebagai baik untuk menolong rakyat kecil dengan Peraturan Pemerintah No.47 Tahun 2024 oleh Presiden Prabowo Subianto yang tidak banyak cakap untuk membela dan mendukung wong cilik dalam bentuk yang nyata seperti sedang mempersiapkan pelaksanaan program makan siang bergizi gratis yang akan menghabiskan dana hampir seratus triliun. Namun yang tak kalah menarik adalah sodokan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman yang mengklaim sudah 20.000 pemuda siap menjadi petani milenial, dari sejumlah itu sudah 3.000 orang petani milenial siap untuk menjadi pembantu yang menjalankan program mencetak sawah baru. Program ini aku Andi Amran Sulaiman, 8 November 2024 di Kantornya, Kementerian Pertanian, Jakarta untuk memaksimalkan bonus demografi, karena 52 persen penduduk Indonesia akan berada dalam usia produktif. Sumber daya alam Indonesia melimpah.
Untuk petani milenial ini Andi Amran Sulaiman menjanjikan insentif Rp 10. juta per orang per bulan. Tentu saja sungguh menarik dan menggiurkan. Sebab upah buruh tertinggi dari UMR di Jakarta dan sekitarnya saja, paling tinggi Rp 6 juta. Hanya saja masalahnya cara dan sistem kerjanya, bagaimana, kelanjutan berikutnya bagaimana, dan fasilitas apa saja yang disediakan oleh pemerintah memang harus jelas dan saklek ada di dalam peraturan kerjanya. Bila tidak, ujungnya kelak bisa menimbulkan masalah ketenagakerjaan seperti yang terjadi di kawasan industri perkotaan yang relatif lebih gampang dipantau untuk mendapat bimbingan atau bahkan perlindungan hingga pembelaan manakala terjadi perselisihan dalam masalah pekerjaan.
Selain itu, tentu saja peralatan kerja, jaminan kesehatan serta tempat pelayanan jika petani milenial tersebut jatuh sakit atau kecelakaan saat melakukan pekerjaannya. Sebab untuk mencetak sawah baru itu bisa segera dibayangkan semak belukar atau hutan belantara yang sangat mungkin tidak pernah dibayangkan oleh petani milenial dari perkotaan yang yang terlanjur biasa keluar-masuk mall dan super market, atau bahkan diskotik dan sejenis tempat hiburan yang tidak semua orang sudah memahami — apalagi mengalaminya — seperti budaya anak muda perkotaan umumnya.
Yang jelas, kebiasaan yang sedang terus berproses menjadi budaya masyarakat umum diperkotaan — yang sudah tentu lebih dominan kaum milenial — adalah sock budaya pertanian yang jauh dari komunitasnya yang sudah terbangun — lalu harus bekerja di lahan persawahan yang mungkin juga belum pernah dinikmati dalam suasana yang serba baru hingga pemondokan tempat tinggal, mungkin dalam bentuk barak.
Dalam kondisi dan situasi yang terkesan cukup darurat inilah, Indonesia ingin bangkit dari posisinya yang sedang terjerembab — untuk segera memasuki gerbang peradaban baru kemerdekaan Indonesia setelah hampir genap seabad letih berjalan, seakan tak pernah kunjung sampai di tujuan pokok kemerdekaan, yaitu mengatasi kemiskinan dan memberantas kebodohan untuk menjadi manusia yang cerdas tidak hanya dalam arti intelektual, tetapi cerdas dalam dimensi spiritual. Karena itu dapat segera dipahami. Sebagai pertanda dari serius atau tidaknya pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, sejauh mana dia masih harus mengerahkan segenap sumber daya dan kemampuan yang untuk mewujudkan Trisakti: kedaulatan segenap warga bangsa Indonesia dengan kemandirian ekonomi dalam genggaman sendiri untuk mewujudkan kepribadian bangsa Indonesia yang luhur dan terhormat dengan harga diri yang tinggi, tidak bisa dibeli.
Oleh karena itu, sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas tidak bisa disimpan di dalam brankas bank, perusahaan besar setara Pertamina hanya ingin memanjakan diri sendiri, tetapi seruan revolusi belum selesai harus dilanjutkan dengan gigih dan tulus demi merah putih seperti simbolika dari kabinet Indonesia untuk mewujudkan swasembada pangan, dan kemandirian energi nasional seperti yang telah digaungkan oleh pertamina harus dapat dirasakan nikmatnya yang nyata bagi rakyat. Bukan omon_omon belaka.
Tigaraksa, 13 November 2024