(Jangan cuma jadi nyanyian atau selogan belaka dalam kibaran bendera Indonesia Raya)


Upaya membersihkan hati, mengendalikan nafsu dan mencerdaskan pemikiran dan pemahaman tentang banyak hal untuk terus meningkatkan daya nalar yang tajam guna dapat dimanfaatkan dalam mengambil kebijakan serta sikap yang diwujudkan dengan perbuatan yang nyata, merupakan laku spiritual sebagai upaya mendekatkan diri kepada Tuhan.

Orientasi dari hidup antara jiwa dan raga, dunia dan akhirat, material dengan spiritual perlu ditata dalam keseimbangan dari esensi luar (fisik) dan esensi dalam (jiwa) minimal setara, jika pun tidak bisa lebih mengutamakan jiwa dibanding raga dalam capaian yang dapat ditakar dengan kualitas, bukan kuantitas.

Karenanya, segenap tingkah laku, sikap dan perbuatan harus senantiasa terkontrol, tidak sampai over confident sehingga bisa menimbulkan kejumawaan, atau bahkan cenderung menganggap orang lain tidak lebih penting dari diri kita sendiri.

Sikap jumawa dan sombong ini bisa karena merasa lebih tua (senior), merasa lebih kaya, merasa lebih pintar, merasa lebih tinggi derajat (pangkat) karena berasal dari keluarga tertentu yang memang terpandang dalam masyarakat atau lingkungannya seperti dalam ketentaraan, kepegawaian atau dilingkungan perusahaan.

Segenap upaya membersihkan hati itu penting dan perlu agar sikap jujur, ikhlas (bahkan nerimo) bisa menjadi perilaku yang diterapkan dalam kehidupan nyata seperti bercampur gaul dengan warga masyakarat lain yang lebih luas dan kompleks perangai maupun pembawaan dari masing-masing orang. Hingga dengan begitu, sifat dan sikap yang telah menjadi mampu membentuk kepribadian yang baik dan terpuji — meski belum mencapai tingkat yang mulia — bisa menjadi tauladan bagi banyak orang.

Hanya dengan begitu kesan dan penerimaan yang simpatik dari setiap orang yang sempat bersentuhan dengan sikap dan sifat yang mulia itu akan menjadi embrio dari sejarah peradaban manusia yang baru untuk masa depan yang lebih baik dan lebih harmoni dalam tatanan sosial hingga budaya dan politik yang lebih beradab, tidak seperti budaya bar-barian saat menjelang Pemilu yang tiba-tiba bisa menghalalkan segala cara.

Atas dasar ini pula, agaknya Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia (GMRI) yang digagas dan digerakkan oleh sejumlah tokoh sejak 20-an tahun silam itu untuk membangun gerakan kesadaran dan kebangkitan spiritual yang berbasis pada etik profetik seperti diusung oleh agama langit, sungguh sangat mumpuni untuk dimotori oleh suku bangsa Nusantara yang memiliki cukup bekal yang sangat potensial memimpin dunia melalui wilayah atau habitat budaya.

Oleh karena itu, eksistensi masyarakat adat dan keraton yang nyaris ada di seluruh daerah dan wilayah di Nusantara ini perlu mendapatkan kembali sebagian dari fungsi dan peranannya ikut menjaga dan mengembangkan potensi masyarakat setempat yang memiliki beragam genius lokal yang tidak dimiliki oleh bangsa lain.

Dalam perspektif ini pun, masyarakat adat dan keraton tidak bisa berdiam diri, karena untuk memberikan dukungan diperlukan kesadaran bersama untuk melakukannya dalam wujud program yang nyata, seperti membangun pusat pemeliharaan, kajian pengembangan dan pemberdayaan potensi masyarakat adat dan keraton yang terpusat di lingungan rumah-rumah dan keraton yang ada di Nusantara.

Idealnya memang, semua semua masyarakat ada dan semua masyarakat keraton mendapat prioritas khusus dalam strategi pembangunan nasional yang layak dan patut mendapat perhatian yang kalah penting dengan program pendidikan nasional untuk melahirkan generasi yang lebih tangguh di masa depan bangsa. Sebab di jaman pembangunan hari ini, upaya membangun jiwa dan raga bagi bangsa Indonesia hanya dalam bentuk fisik (material) semata.

RS. Dharmais, 18 Agustus 2023

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here