Oleh: Jacob Ereste :
Manajemen konflik model Joko Tongkir, kata Eko Sriyanto Galgendu dengan memasukkan binatang kecil (orong-orang) ke telinga kerbau, sehingga binatang bertubuh tambun itu ngamuk — ngosak-asik warga kampung yang tak paham duduk persoalannya. Lalu Joko Tingkir pun muncul bak pahlawan bagi masyarakat, karena mampu menjinakkan kerbau yang ngamuk itu.
Lalu konteksnya dengan masalah yang meriap muncul pada hari ini yang terasa menteror warga masyarakat, sama seperti ulah Joko Tingkir yang usil dan licik itu.
Konon kisah kiwari yang terlanjur menjadi semacam mitos dan epos kepahlawanan itu kini diwujudkan dalam model yang lain guna menangguk untung entah dalam bentuk apa saja, termasuk anggaran operasional guna menjinakkan secara kamuflase rasa nyaman dan aman yang dibuat dengan cara meresahkan dulu hati masyarakat.
Gelembung kecemasan terus bermunculan di mana-mana, persis seperti buih air limbah yang memenuhi di sepanjang aliran sungai yang mengalir hingga akhir terbilas oleh air laut yang telah membunuh segala biota yang hidup di dalamnya. Mungkin tidak secara fisik, tetapi secara psikis atau spiritual dimatikan sehingga manusia tidak lagi hirau pada kuasa Tuhan. Dan akibatnya, tatanan etika (budaya), moral (keimanan) serta akhlak manusia yang sesungguhnya mulia — sebagai khalifah Allah di muka bumi — habis tergerus oleh nafsu angkara, korup, khianat terhadap sumpah dan janji sendiri seperti yang telah mengiris-iris hati rakyat.
Petani yang tidak diopeni, nelayan yang dibiarkan merana, dan buruh yang ditelantarkan karena harus mengurus dirinya sendiri, persis anak tiri yang merana di negeri sendiri. Sementara TKA (tenaga kerja asing) mendapat karpet mewah nan istimewa, layak raja yang perlu dan pztut mendapat pelayanan dan kemudahan yang diistimewakan. Termasuk memperistri gadis hingga janda pribumi yang siap diploroti warna budaya leluhurnya yang adiluhung.
Itulah sebabnya GMRI mau mengucurkan keringat untuk membangun gerakan kebangkitan dan kesadaran spiritual yang berbasis pada etika, moral dan akhlak segenap anak bangsa untuk menangkal keambrukan bangsa dan negara yang semakin tidak jelas arah tujuannya sampai hari ini.
Sebab yang harus dan wajib melindungi justru menjadi pelaku atau bahkan aktor utama seperti Drama Dari Duren Tiga yang hingga mampu mengalahkan tayangan kisah Kasih dari Korea yang sudah melibas telenovela karya anak negeri ini yang keok tak lagi berdaya apa-apa.
Begitulah konon cerita kisah kelahiran anak panggung yang lebih disemangati oleh penampilan konyol yang mereka sebut seni stand up komedi itu.
Jadi jelas ekspresi dari suasana bathin negeri dan bangsa kita sekarang ini, sungguh paradok seperti persaingan mavia narkoba dan perjudian yang diternak secara piawai, hingga Tuhan yang harus mengungkap kebobrokan etika, moral dan akhlak mereka yang brengsek itu, karena lembaga atau instansi yang semestinya membuka kebusukan mereka itu justru ikut menikmati hasil keculasan dari perilaku degil itu juga, sehingga korupsi, penggadaian konstitusi serta beragam macam dan model pengkhiatan — tak hanya pada UUD 1945 dan Pancasila — jadi semakin merajalela di negeri ini.
Agaknya, inilah yang dimaksud oleh Eko Sriyanto Galgendu semacam fenomena dari Joko Tingkir hari ini yang telah melahirkan Joko dan Joko yang lain, dan merusak tatanan berbangsa serta tatanan bernegara kita yang terus dibuat cemas dan ngeri. Sebab semua peristiwa dan kejadian sulit diduga, apa yang bakal terjadi kemudian. Persis seperti bencana yang datang silih berganti. Padahal itu seperti proyek pembangunan yang bisa dibuat dengan rancangan dan perencanaan kerja yang rinci dan terhitung hingga skala prioritas dengan nalar yang sehat dan waras.
(Jakarta, 26 Desember 2022)*