Mediacakrabuana.id

Oleh:Jacob Ereste
Warning terhadap partai politik tidak boleh kalah, karena kalau kalah artinya akan masuk penjara. Working maha penting ini sungguh menjadi sinyal yang baik untuk dipahami, karena sangat banyak dan luas artinya, seperti yang disarankan seorang elite politik di negeri ini. Demikian juga hasrat untuk mengambil alih sebuah partai seperti yang sudah-sudah, menjadi bagian dari budaya politik yang menarik untuk dikaji dan direnungkan. Setidaknya, kelak akan seperti apa muaranya perjalanan politik di negeri yang tengah dihanyutkan oleh jaman edan.

Ramalan Ronggo Warsito bisa saja tidak seluruhnya benar. Tapi sebagai isyarat dari jaman edan itu banyak hal telah diisyaratkan bila tidak akan jatah yang bisa menjadi bagian untuk kita. Itu artinya bisalah dimengerti bila yang telah menjadi hak milik kita pun harus direbut agar bisa kembali menjadi bagian dari milik kita. Jika tidak, janganlah pernah berharap akan dikembalikan dengan senang hati secara, seperti kedaulatan rakyat yang kini entah berantah rimbanya.

Menggoyang partai dengan berbagai isu — bahkan ancaman hendak membuka kasus di kardus yang sudah membeku seperti tempoyak, bisa saja disegarkan kembali aromanya asli bau duren yang sudah tersimpan di dalam kardus sejak lama itu.

Begitu juga dengan sejumlah nilai saham yang kosong, hanya bisa dicairkan untuk dijadikan ongkos ikut mendompleng di dalam gerbong partai, meski hanya bersifat sementara agar dapat sampai pada stasiun tujuan.

Jadi sesungguhnya sosok semacam itulah yang dimaksud penumpang gelap dalam khazanah kamus politik untuk mereka yang tak ubahnya seperti istilah yang juga dimaksud dari bajing loncat itu. Maka saat waktunya ketika si bajing luncat itu membuat keonaran atau masalah, maka itu muncullah sumpah serapah istilah ; bajingan.

Gaya dan nada dari sumpah serapah seperti itu wajar saja mengambil model atau gaya pasar yang bebas. Dan transaksi juga bisa dilakukan dengan sangat leluasa. Bahkan tradisi tawar-menawar seperti yang mereka haluskan dengan ungkapan negosiasi atau bargaining power itu menjadi jamak kesannya. Maka dalam model transaksi serupa ini, nilai tukar jumlah massa bisa dicairkan bukan atas dasar kualitas, tetapi cukup dalam rincian kuantitas semata.

Agaknya, dalam mekanisme pasar serupa ini manusia telah disublimasikan berupa angka-angka. Sehingga nilai kemanusiaan manusia yang sejati menjadi luruh, tak lebih dari nilai materi yang bisa diperjual belikan.

Mungkin atas dasar pemikiran serupa ini banyak orang percaya bahwa politik itu memang kotor. Jahat, bahkan keji dan kejam tak punya hati nurani. Sehingga orang banyak jadi enggan berpolitik. Namun sekedar tidak sampai buta politik, tetap penting dan perlu kiranya terus mengikuti alur pemikiran dan perkembangan dari gonjang ganjing iklim politik mutakhir di negeri ini agar tak sampai tersesat di jalan terang. Artinya, meski tak sampai ikut berkecupak dalam politik praktis, minimal mau sedikit belajar agar bisa memahami politik, supaya tidak sampai dikadali dan menjadi korban kekejiannya yang memang jahat.

Kegaduhan begal membegal dalam politik, sempat membuat Partai Demokrat menggigil keluar keringat dingin. Sekarang giliran Partai Golkar yang mau dibajak mentah-mentah. Maka suhu di habitat politik kembali memanas, seperti bisa dilihat lebih jernih dan terang dalam menggertak sang Ketua Umum untuk diinterogasi layaknya seorang pesakitan. Istilah kudeta politik itu terlalu berlebihan. Memang kudeta terhadap partai politik bisa saja terjadi bila yang melakukannya adalah mereka yang berada di dalam partai. Lha, kalau yang birahi adalah mereka yang berada di luar partai, itu namanya pembegalan seperti yang tengah marak di jalan raya sekarang. Jadi mereka yang tidak ikut terlibat dalam partai politik yang bersangkutan, lalu ingin mengambil alih partai tersebut, itu namanya bukan kudetanya.

Jadi untuk mereka yang hendak mengambilalih sebuah partai politik itu adalah orang yang menggelandang di pinggir jalan, maka yang lebih tepat dan pas istilahnya bukan kudeta, tapi pembegalan. Sebab kudeta itu lazimnya hanya bisa dilakukan oleh mereka yang ada di dalam partai itu, atau senegara dengan presidennya, atau juga pengurus organisasi yang sama.

Istilah dinasty politik dalam khazanah budaya kita pun harus jernih dan jelas dipahami bagi mereka yang ujuk-ujuk dapat menjadi pengurus teras dari suatu partai politik, tanpa melalui jenjang kaderisasi dan regenerasi yang sehat berdasarkan prestasi dan reputasi politik yang telah teruji sebelumnya bersama kader yang lain. Jadi dinasty dalam politik itu hanya diperoleh oleh mereka yang cuma mempunyai hubungan darah. Anak, menantu termasuk istri atau suami yang dapat memperoleh legalitas melalui trah atas turunan atau ikatan perkawinan, lalu bisa memperoleh legalitas serta otoritas kekuasaan, tampa harus melalui proses kaderisasi atau belajar secara serius untuk memperoleh otoritas kekuasaan yang bersifat kelanjutan dari sang penguasa sebelumnya.

Maka dalam budaya politik seperti itu dapat segera dipahami kegagalan serta kesuksesannya atau tidak melakukan kaderisasi yang sehat. Kalau cuma sekedar kemampuan mematikan dan menghidupkan mikrofon, itu artinya jelas tidak etis dan tidak beradab. Lalu bagaimana mungkin orang banyak mau percaya menitipkan aspirasi dan suara pilihannya kepada yang bersangkutan, kalau bukan karena politik uang ?

Sungguh naib tradisi dan budaya politik di negeri kita yang terlanjur pasih melafazkan kata demokrasi, namun tetap saja melestarikan budaya dinasty, menyunggi sikap dan sifat otoritarian, alias mau berkuasa seumur-umur. Hingga prosesi peralihan kekuasaan dalam partai politik di negeri kita seperti kejadian yang amat sangat langka. Simak saja, sejak kelahiran partai yang bersangkutan sampai diambang kebangkrutan serta kehancurannya, tetap saja sosok dia juga yang mencagok di puncak kekuasaan dinasty politik partai yang bersangkutan.

Banten, 25 Juli 2023

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here