Jacob Ereste :
Sikap Ugahari dan Rendah Hati Dalam Tamasya Spiritual Mendekatkan Diri Kepada Tuhan
Mediacakrabuana.id
Ide, gagasan, pemikiran yang hendak diwujudkan masih berupa keinginan yang dapat dikatakan menjadi prilaku yang nyata. Dari perilaku dapat menjadi kebiasaan jika terus dilakukan akan menjadi karakter sebagai penentu nasib dalam bersikap untuk bertindak hingga menghasilkan suatu perbuatan atau karya yang baik atau karya yang buruk
Filosofis hidup bangsa Timur — yang berbeda dari bangsa Barat — selalu percaya bahwa Tuhan itu ada di dalam diri sendiri, tidak diluar. Maka itu, ziarah ke berbagai tempat menjadi semacam rekreasi untuk mendapatkan suasana batin yang indah, sejuk dan menenteramkan hati. Selebihnya, hanyalah sekedar ingin mengekspresikan rasa penghormatan dan perkenaan para leluhur yang diyakini mampu memberi energi yang bersifat gaib.
Begitu juga dengan hasrat untuk mencari suasana keheningan dengan melakukan pendakian ke atas gunung, ke pantai atau ke hutan belantara yang jarang dijamah banyak orang, sebagai upaya menemukan keheningan untuk melakukan perenungan dengan menikmati kekuasaan Tuhan seperti yang diungkapkan oleh ombak yang terus bergulung seakan mengisyaratkan tentang hidup dan kehidupan yang terus berdenyut seperti urat nadi di dalam diri setiap manusia itu sendiri.
Gunung yang menjulang ke langit itu pun dapat dipahami sedang bertasbih memuji Keagungan dan Kekuasaan Tuhan terhadap jagat raya dan seisinya, termasuk manusia yang mendapat berkah dan anugrah sebagai makhluk yang paling mulia di bumi, sehingga layak disebut khalifatullah. Atau wakil Tuhan untuk menata kehidupan yang harmoni, selaras dengan petunjuk dan perintah Allah seperti yang tersurat di dalam sunnatullah yang tidak mungkin bisa dibantah itu.
Serangkaian prosesi tersebut — seirama dengan seluruh aktivitas dan kegiatan manusia di bumi yang dipahami sebagai ibadah — karena semua yang dilakukan demi dan untuk kebaikan semata, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Dalam konteks inilah pemaknaan isyarat dari langit yang menyatakan bahwa rahmatan lil alamin itu diperuntukkan bagi semua manusia yang percaya kepada sifat dan sikap Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang bagi umatnya tanpa diskriminasi.
Oleh karena itu, tak ada alasan sepanjang jalan spiritual yang dilakukan, puja dan puji syukur senantiasa dilantunkan, sebagai ekspresi dari sikap sadar atas segala nikmat dan rizki yang telah diperoleh dalam berbagai bentuk dan wujud harta, benda, makanan, kesehatan, keluarga dan saudara serta kawan-kawan yang ikut menjadi bagian dari kebahagiaan yang menyenangkan dan menghibur hati hingga selalu merasa bergembira, meski hidup dalam takaran yang cukup, tanpa pernah merasa berlebih.
Dalam suasana hati yang selalu merasa cukup, maka lantunan syukur kaum sufi tak pernah akan berhenti, seperti nyanyian kegembiraan sepanjang jalan spiritual yang menyenangkan dan mengasyikkan itu. Maka sikap ugahari dan rendah hati akan menjadi penangkal sikap sombong dan jumawa yang tidak perlu. Sebab hidup ini terlalu singkat untuk disibukkan oleh pekerjaan yang remeh temeh tidak berarti, kecuali karena atas rasa iri dan dengki yang tidak sepantasnya menjadi beban hidup yang tidak ada gunanya itu.
Pecenongan, 12 Desember 2024