Mediacakrabuana.id

Seperti akrobatik dari kata-kata Menko Perekonomian untuk membobokkan rakyat, yang melemah itu bukan nilai tukar rupiah, tapi nilai dolar yang menguat. Itu kan sama sebangun dengan takaran Pilpres 2024, jika tidak menang tiadalah mengapa, asalkan tidak kalah. Begitulah ketika rakyat tidak lagi mampu membeli beras, bukan karena duitnya habis digunakan untuk membeli Partai Politik yang lagi diobral murah, justru menjelang Pemilu 2024, partai politik bisa dipesan secara online dan bayar di rumah.

Logika yang jungkir balik ini, diperlukan juga supaya tidak sampai memusingkan, dan boleh dianggap seperti sedang mengisi teka teki silang. Sebab di dalam teka teki yang bersilangan itu, bisa juga menjadi semacam usaha menguji akal sehat meski sebetulnya pun tidak waras. Karena pada jaman yang serba kacau sekarang ini, akan semakin menjadi salah karena ditanggapi dengan serius. Padahal, orang sekaliber Gus Dur pun, semasa hidupnya telah mengingat, yang ruet ribet itu emangnya gua pikirin ?

Jadi memang kita pun harus percaya kepada hal-hal yang mustahil maupun kepada hil-hil yang mustahal. Seperti dalam benak ketiga kandidat Capres dan Cawapres, toh semua ingin menang supaya tidak mengalami kekalahan dalam pertarungan pemilihan. Padahal kemenangan itu hanya ada pada pasangan yang tidak perlu merasakan kekalahan. Meski dalam realitasnya memang kalah, mengapa kekalahan itu sendiri tidak dinikmati saja sebagai kemenangan ?

Lantas, kalau semua pasangan harus menang, siapa mesti kalah, walaupun tidak harus mengalah. Jadi, membahas soal yang pelik, tidak lantas berarti akan segera menemukan kemudahan-kemudahan. Boleh jadi soal yang sudah kusut itu akan semakin kusut dan menambah keruetan. Pendek kata, masalah yang pendek bisa dipanjang-panjangkan. Begitu juga sebaliknya. Sebab logika dari lebih cepat itu lebih baik, tak selalu relevan dengan semua jaman. Sekarang, katanya lebih cepat itu lebih enak. Lantas, mana yang benar, karena yang lama itu konon ceritanya lebih nikmat.

Ibarat buah kelapa, yang tua itu lebih banyak santannya. Bukankah belum pernah diteliti, sesungguhnya yang banyak dikonsumsi itu kelapa tua atau kelapa muda. Jika tidak, mana ada istilah yang tua doyan daun muda. Setidaknya yang lebih populer itu pasti janda muda. Minimal Sepenjang tentang sejarah belum ada cerita fiksi yang menulis tentang janda tua.

Maka semakin relevan membicarakan hal-hal yang berat dengan pikiran yang ringan. Tak usah diambil hati atau baper istilah kawula milenial hari ini. Lantaran hari esok akan lebih banyak rumusan untuk meringankan pikiran, agar rekening listrik yang membengkak naik tagihannya bisa sejenak dilupakan. Meski kelak pasti ada dalam sejarah. Soalnya, apakah perihal itu sungguh penting, atau sungguh busuk. Itulah yang terpatri di batu nisan kita kelak untuk setiap saat dibaca dan diziarahi oleh banyak orang, dan mungkin dengan beragam do’a atau sumpah serapah meski secara tak langsung di atas makam yang menyembunyikan keaiban diri kita. Kecuali itu, sejarah sendiri dapat ditafsirkan secara bebas oleh siapa saja yang membaca dan mengkaji makna di balik catatan yang tertulis di batu nisan kita kelak.

Sesungguhnya saya sendiri tidak terlalu yakin dengan tulisan yang dikirim sahabat lama yang kini bermukim di Kawasan Sekolah Gajah, Lampung Timur itu. Alasan saya sendiri mungkin saja bisa dianggap tidak masuk akal, karena memang saya mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi jenis tulisan dari sahabat lama ini. Bahkan maksud serta tujuan dari narasi yang dia paparkan pun, tak mampu saya cerna dengan baik. Maka itu, sekedar untuk berbagi beban kebingungan atau mungkin justru sebaliknya — dapat meringankan keruetan pikiran karena terus dipaksa untuk ikut menganalisis peserta dan penggembira Pilpres 2024 yang semakin menegang — tatap saja terselip do’a semoga saja bisa sedikit mengendor.

Dalam istilah yang paling sederhana, siapa tahu secercah cahaya yang membersit, bisa juga ikut menerangi jagat terlihat semakin gelap. Atau, mungkin pula sehabis gelap terbitlah terang. Dan atas dasar rasa kebingungan seperti itulah, kiraman naskah dari sahabat lama ini tidak bisa saya klasifikasikan jenis kelaminnya. Sebab untuk disebut puisi, rasanya belum cukup umur. Jika pun hendak dikatakan sejenis artikel, agaknya syarat ilmiahnya tidak memenuhi takaran akademik. Sehingga saya cuma mampu menduga, agaknya inilah yang dimaksud buah simalakama, yang pernah kita telan begitu saja, tanpa perlu melihat dan memahami pohon dan ranting yang membesarkan putik buah simalakama itu.

Banten, 28 Oktober 2023

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here