Jacob Ereste :
Mimpi Masyarakat Agraris Memasuki Gerbang Indonesia Emas Tahun 2045
Mediacakrabuana.id
Indonesia sungguh layak dan patut menjadi unggul dalam bidang agraris, bukan industri. Sebab lahan pertanian yang luas masih dalat dimaksimalkan tata kelolanya secara efektif dan efisien sehingga mampu menghasilkan berbagai produk pertanian. Termasuk perikanan laut maupun perikanan air tawar. Tapi bidang pertanian terlanjur dianggap primitif, kampungan, ndeso dan terkesan budaya masyarakat udik — yang tertinggal — karena dianggap jauh dari budaya dan pergaulan masyarakat pasar — perkotaan — yang dianggap lebih maju, lebih modern dan lebih beradab untuk masa depan, meski terpaksa harus hidup dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan saja.
Potret manusia perkotaan di Indonesia pun jadi terkesan naib, karena masih memiliki naluri agraris yang terang benderang tergambar dalam pola kehidupannya sehari-hari. Tradisi berkebun — bercocok tanam — meski di depan beranda rumah yang sempit terdapat beraneka ragam tetumbuhan yang dipelihara — bukan untuk menghias taman yang indah, tetapi lebih dimaksudkan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, seperti lengkuas, sere bahkan pohon belimbing wuluh guna melengkapi bumbu dapur agar menu makanan menjadi enak dan lezat.
Naluri agraris warga masyarakat Indonesia dapat dikatakan sama dan merata semua suku bangsa nusantara yang ada dan telah meng-Indonesia sejak kemerdekaan diproklamasikan dengan membentuk satu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meski pada beberapa waktu belakangan ini, penegasan kesatuan sudah sering ditinggal untuk tidak lagi disebutkan sebagai ciri khas dari kebhinekaan yang ika itu.
Karenanya program pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang gencar hendak menggapai swasembada pangan sangat menggembirakan. Setidaknya, untuk membayangkan masa berjayanya nusantara sehingga disatroni oleh berbagai bangsa dari berbagai belahan dunia — karena hasil bumi yang sangat melimpah — utamanya rempah-rempah bisa kembali diulang masa kejayaan itu sekarang ini dengan berupaya menuju swasembada bahan pangan. Sehingga tidak lagi mempunyai alasan untuk impor yang lebih didorong oleh hasrat memburu rente, sehingga jelas tidak berpihak pada rakyat banyak yang tetap miskin atau bahkan semakin parah dan juga bertambah jumlahnya
Budaya masyarakat agraris yang masih kental dan kuat menggelayuti masyarakat perkotaan di Indonesia jelas tercermin dari pola hidupnya yang masih cukup dominan belum mampu menjadi masyarakat modern perkotaan — yang serba praktis, efisien, kerja cepat dan hemat. Sebab untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari tidak lagi bisa menerapkan cara hidup di pedesaan atau di kampung yang tinggal petik dari kebun atau ketika itu juga menangkap ikan di kolam peliharaan. Beragam lalapan pun harus didapatkan di pasar.
Artinya, kontradiksi antara pila hidup di kampung tidak lagi layak ada dalam angan-angan dari percepatan waktu yang terus berpacu, tak mungkin dapat leyeh-leyeh seperti pola hidup yang dapat lebih ngelaras di kampung halaman. Setidaknya ,backing saudara di kiri dan kanan rumah — atau bahkan yang ada di seberang jalan — masih bisa diandalkan dalam kondisi ekonomi yang paling darurat sekalipun. Sebab pola hidup gotong royong — saling membantu dan penuh tenggang rasa — masih dapat diperoleh dan dinikmati dalam suasana pedesaan atau perkampungan kita yang masih tersisa.
Itulah sebabnya program pemerintah untuk mensegerakan langkah nyata menuju swasembada pangan perlu dan patut didukung — bukan hanya agar petani dan nelayan serta petambak ikan maupun peternak kita — dapat menjadi pelopor mengatasi kemiskinan rakyat yang terus panggah — atau justru semakin bertambah jumlahnya — sejak kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia ingin memberantas kemiskinan untuk kemudian meningkatkan kecerdasan rakyat, agar dapar segera menikmati apa yang dimaksud dari kesejahteraan dalam arti luas itu pada hari ini dan di masa depan.
Jadi potensi budaya masyarakat agraris di Indonesia sungguh dapat diandalkan menjadi modal utama untuk mendukung dan mensukseskan swasembada bahan pangan untuk kemudian dapat segera diikuti swasembada energi dalam arti cukup untuk ketahanan dan pertahanan serta kedaulatan dalam arti luas bagi bangsa dan negara yang sudah nyaris seabad dalam bilangan perjalanan kemerdekaannya. Baru kemudian mimpi tentang Indonesia emas bukan cuma sekedar mimpi yang tidak dapat untuk diwujudkan pada tahun 2045.
Banten, 27 November 2024