Jacob Ereste :Pemimpin Setengah Dewa Yang Diharap Rakyat Menjadi Juru Selamat

0
185 views

Mediacakrabuana.id

Salah sangka terhadap Thomas Jefferson sebagai seorang ateis dengan menyematkan sebutan sekular terhadap dirinya, justru sebaliknya. Karena Jefferson mengatakan tidak mampu membayangkan bila Amerika Serikat menjadi sangat sekular. Sebab kesadaran pada demokrasi adalah pendidikan, dan esensi dari pendidikan itu adalah moral serta kebajikan. Semua itu bersumber dari Yang Maha Tinggi, lebih dari sekedar kemampuan pikiran dan nalar manusia yang paling kampiun sekalipun.

Ungkapan yang sarat bermuatan nilai religius ini diharap mampu untuk menempatkan demokrasi bagi para aparatur pemerintah sebagai subyek yang harus memiliki moralitas yang teruji.

Begitulah gambaran umum dari semua lembaga — khususnya di lingkungan pemerintahan — semua menganut paham sekular. Berbeda dengan paham yang dianut oleh rakyat kebanyakan yang memposisikan diri sebagai perisai demokrasi. Sebab kecenderungan dari pihak yang melindas demokrasi itu adalah rezim penguasa.

Persoalan di negeri yang dianggap paling tinggi menyunggi demokrasi — seperti Amerika — ternyata mengalami kesulitan juga untuk mencapai konsensus dalam kondisi dan situasi yang dipisahkan oleh jurang yang menganga lebar antara rakyat dengan lembaga pemerintah yang cenderung melabrak rambu-rambu demokrasi dan hukum.

Tontonan yang menjadi menjadi perhatian banyak orang seperti Pemilu tahun 2024 di Indonesia yang gaduh, merupakan indikator dari demokrasi dan hukum yang dilindas oleh sikap yang semena-mena dari aparatur negara, sehingga sengketa Pemilu — yang dianggap cacat hukum dan cacat moral serta cacat etika ini — harus diselesaikan di pengadilan Mahkamah Konstitusi. Di MK pun, mereka yang sangat berharap memperoleh keadilan pun tampak cemas, karena MK — sebelumnya — telah melakukan pelanggaran etika yang tergolong berat, sehingga sangat diragukan netralitas dan keberpihakannya pada rakyat. (Dan saat tulisan ini disusun, proses persidangan di MK mengenai sengketa Pemilihan Presiden tahun 2024 masih berlangsung dan sedang menunggu putusan pengadilan MK yang sangat diharap memberi rasa keadilan bagi rakyat).

Pada awal mulanya Amerika Serikat pun, beranjak dari asumsi bahwa masyarakatnya akan dipimpin oleh sosok manusia yang mendapat bimbingan dari Tuhan. Ternyata, sampai hari ini, kata banyak pengamat ketatanegaraan kaliber dunia, harapan tersebut masih belum pernah tercapai, hingga bisa dikatakan bahwa semua penguasa di negeri manapun selalu mengedepankan egosentrisitas dan ambisi pribadi mereka dibanding memberi perhatian terhadap suara dan aspirasi rakyat yang selalu distempel sebagai suara Tuhan.

Suara rakyat adalah suara Tuhan itu sungguh sangat tinggi nilai metaforanya yang filosofis simbolik, sebab dalam kesadaran serta pemahaman spiritual, sungguh tiada terkira dalamnya. Sebab suara rakyat adalah suara Tuhan itu bisa dipahami bahwa suara Tuhan itu yang sesungguhnya sedang disuarakan oleh rakyat. Karena itu, suara rakyat merupakan bisikan hati yang terdalam dari relung jiwa — yang terhubung langsung dengan Tuhan. Kekuatan suara rakyat itu seperti dalam keyakinan Islam, bahwa do’a dari 40 orang yang serius dan khusuk, bisa langsung dikabulkan oleh Allah SWT.

Suara rakyat adalah suara Tuhan itu semacam antitesa dari suara aparat pemerintah atau rezim penguasa yang cenderung abai pada amanah rakyat. Meski saat pelantikan mereka semua mengucapkan sumpah dan janji untuk menunaikan tugas demi dan untuk rakyat serta atas nama Tuhan. Toh, korupsi, bersikap kesewenang-wenangan, bahkan khianat pada tujuan berbangsa dan bernegara yang telah menjadi komitmen bersama.

Itulah sebabnya, syair seorang penyair mengungkapkan dalam sepenggal karyanya; “Sumpah dan Janji” menuju kemunafikan. Padahal, seperti dikatakan Budayawan dan Dramawan besar Indonesia, WS. Rendra mengatakan “Langit di luar dan langit di dalam bersatu dalam jiwa”. Jadi, kata dan perbuatan itu adalah satu, tidak terpisah antara apa yang diucapkan dengan apa yang dikerjakan.

Maka itu, bagi mereka yang berkhianat — karena telah dilakukan dengan niat dan perbuatan yang jahat — tiada ampun bagi siapa pun untuk dikutuk dan diganjar dengan sanksi serta hukuman yang paling berat. Karena khianat itu — biasanya kepada orang banyak dan institusi negara yang justru seharusnya wajib mencegah perilaku paling bejat moralitasnya ini.

Pengkhianatan itu biasanya tidak cuma terhadap komitmen bersama dengan rakyat, tetapi juga terhadap konstitusi yang berlaku dengan menggadaikan harga diri atau pun aset bangsa yang dikelola oleh negara kepada pihak asing. Trend dari model kejahatan seperti ini yang terus berlangsung sampai sekarang. Sehingga aset bangsa yang dikelola oleh negara, satu-satu berpindah tangan kepada taipan atau bangsa asing.

Demikian juga dalam kecenderungan dari penguasa untuk memperbanyak hutang negara, hingga akan menjadi beban rakyat dan generasi berikutnya yang akan meneruskan tata kelola pemerintah yang baik dan benar, sesuai dengan amanah rakyat. Itulah sebabnya, sosok pemerintahan pada dekadensi moral sekarang ini — yang abai terhadap etika dan akhlak mulia kemanusiaannya — mengidolakan sosok pemimpin setengah dewa, kalau pun tidak bisa setara dan sekaliber Nabi.

Balaraja, 8 April 2024